MAKALAH
PERAN MASYARAKAT DALAM REKONTRUKSI LINGKUNGAN HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
Dampak kerusakan lingkungan semakin menjadi-jasi. Kebakaran hutan, banjir
bandang, menipisnya lapisan es, efek rumah kaca, dan lain-lain. Fenomena yang
sering kita lihat di mana-mana. Televisi, radio, media apapun acapkali
melontarkan fenomena tersebut. Solusi yang ditawarkan juga tidaklah sedikit.
Mulai dari wacana recycle things, reboisasi, subsidi silang intra lingkungan.
Dari tataran bangku TK, SD hingga para legislator kita DPR. Dari hanya sekedar
obrolan di angkringan hingga menjadi draft di dalam tataran konstutisional.
Sebuah nilai yang tidak dapat ditawar lagi. Keberlangsungan lingkungan hidup
amat tergantung kepada manusia sebagai subyeknya. Jaminan untuk generasi yang
akan datang. Lingkungan hidup yang sehat, aman, dan terjaga.
Poin kedua ialah sebuah kata
yang sering didengungkan oleh Suharto. Pembangunan. Jalan tol, perumahan, mal,
serta proyek atas nama pembangunan lainnya. Konsep yang mendasari hal tersebut
ialah membangun infrastruktur sebanyak-banyaknya sehingga–dengan logika
sempit—tercipta kemakmuran, kesejahteraan. Ekonomi yang membumbung tinggi akan
menaikkan tingkat investor, kucuran dana asing yang semakin banyak, dan tak
lupa berubahnya hutan kita menjadi kota atau pabrik.
Pembangunan seharusnya
menjadi landasan kehidupan seluruh rakyat, bukan segelintir orang. Egoisme
sektoral yang terjadi di negeri ini semakin jelas. Banyaknya peraturan yang
bertentangan, peraturan yang implementasinya lemah, bahkan keterlibatan seorang
menteri dalam illegal logging. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Ada sebuah
perdebatan panjang di sana. Manakah yang lebih penting? Pembangunan atau
lingkungan? Saya langsung melihat dari perspektif subyektif, bahwa
lingkunganlah yang seharusnya—dan memang—didahulukan. Sebuah tawaran untuk
melakukan konstruksi ulang terhadap kebijakan pemerintah mengenai dampak
pembangunan terhadap kerusakan lingkungan.
Kesetaraan nilai dalam pola
pengembangan pembangunan yang berwawasan lingkungan harus diangkat kembali.
Atau malah pembangunan yang mendasarkan pada kesinambungan lingkungan hidup.
KTT bumi menyebutkan bahwa perlindungan terhadap lingkungan hidup lebih banyak
ditanggung oleh negara—di samping kita pribadi. Namun, implementasi yang lemah
dan wacana berpikir mengenai kontaradiksinya lingkungan dengan pembangunan
perlu disototi secara khusus.
Dalam beberapa ketentuan yang disebutkan dalam
KTT Bumi Rio 1992, ada kelemahan yang mendasar. Kelemahan tersebut ialah bahwa
pemerintah negara utara dan selatan sama-sama tidak mempunyai komitmen yan kuat
untuk menyelesaikan krisis lingkungan dan sosial pada tingkat global dan
nasional. Negara Selatan, misalnya, tidak mau membuat komitmen untuk mengurangi
penipisan sumber daya alam. Sedangkan negara Utara tidak mau membuat komitmen
untuk mencegah transfer produk dan proyek yang mengandung bahaya lingkungan ke
selatan.
Perbenturan
kepentingan—khusunya kapital—dalam berbagai proyek pembangunan juga
mengindikasikan rapuhnya sistem kita. Kuatnya pihak kapitalis dalam memainkan
peranannya dalam pembangunan berdampak bahwa pembangunan yang terjadi adalah
get it or lose everything. Kesempatan melakukan pembangunan dalam arti fisik
tidak akan pernah datang dua kali. Doktrinisasi berkedok pembangunan.
Kesetaraan nilai antara pembangunan dengan eksistensi lingkungan hidup sudah
sewajarnya di angkat kembali ke permukaan. Diangkat menjadi sebuah isu publik.
kehancuran lingkungan sudah semakin jelas dan nyata, dan orang-orang yang
merusak itu pun semakin dekat dengan kita—atau bahkan kita termasuk di
dalamnya?
Rekonstruksi Lingkungan
sebgai tawaran keadilan lingkungan bagi semua. Pembangunan yang selama ini
menjadi garda terdepan telah mengabaikan lingkungan, mengakibatkan pembangunan
berkelanjutan merupakan kata-kata di atas kertas saja. Pembangunan kembali
lingkungan sebagai platform dari pembangunan rakyat Indonesia juga membawa efek
yang diperkirakan signifikan terhadap keberadaan bumi ini, mengingat hutan kita
merupakan salah satu yang terbesar di planet ini. Pembanguan fisik saja, tanpa
mengindahkan non fisik atau tanpa mempedulikan kesetaraan keadilan untuk semua
sudah selayaknya dihentikan.
Ketimpangan yang selama ini
terjadi di negeri ini sudah sepantasnya dihentikan. Kehancuran lingkungan hidup
kita tinggal menunggu waktu saja, bahkan dalam satu menit Indonesia kehilangan
hutan seluas lapangan bola di Riau. Contoh yang lebih mengerikan ialah, limbah
tambang di kawasan lembah Wanagon yang sesekali tumpah dan membanjiri kawasan
penduduk di sekitar dnau tersebut. Sekali lagi, pembangunan yang selama ini
merusak lingkungan hidup harus diubah sehingga menjadi pembangunan yang
berlandaskan lingkungan hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam konstruksi,
operasi dan pemeliharaan perkerasan jalan selama ini selalu didekati dengan
pendekatan fisik-mekanikal(physical-mechanical approach). Suatu pendekatan klasik
dari aspek kekuatan konstruksinya semata, yang sering mengabaikan aspek
durabilitas (keawetan) konstruksi.
Jika pernyataan ini
kurang tepat, mengapa konstruksi jalan di Indonesia ini sering
bermasalah?
Salah satu kriteria atau persyaratan dalam pendekatan fisik-mekanik supaya konstruksi jalan dapat dianggap memenuhi spesifikasi teknis konstruksi adalah jalan dapat secara fisik-mekanik mampu menerima beban berat dari lalu lintas yang beroperasi di atasnya tanpa mengalami kegagalan konstruksi atau malpraktek konstruksi. Baik karena beban vertikal maupun beban horizontal (termasuk beban karena sliding, beban pengereman, maupun pergerakan tanah di bawahnya). Dalam hal ini salah satu requirement-nya adalah memenuhi nilai CBR tertentu untuk konstruksi subgrade, sub-base course, dan base-course-nya. Serta memenuhi ketentuan-ketentuan compressive strength dan/atau tensile strength dan/atau flexural strength (modulus of rupture/bend strength/fracture strength) untuk surface course-nya, dalam hal ini khususnya bagi bahan atau material konstruksinya. Baik untuk flexible pavement (aspal) maupun rigid pavement (beton). Itupun masih ditambah technical requirements lain yang hanya dapat dipahami oleh forum yang dihadiri oleh stakeholders khusus dunia konstruksi saja, karena terlalu teknis untuk disampaikan di ruang publik yang sangat heterogen ini. Saya kira tidak cukup bijak untuk menambahkan requirements lain, seperti persyaratan-persyaratan LA Test, liquid limit, bleeding, segregasi, dan sebagainya di ruang publik ini.
Salah satu kriteria atau persyaratan dalam pendekatan fisik-mekanik supaya konstruksi jalan dapat dianggap memenuhi spesifikasi teknis konstruksi adalah jalan dapat secara fisik-mekanik mampu menerima beban berat dari lalu lintas yang beroperasi di atasnya tanpa mengalami kegagalan konstruksi atau malpraktek konstruksi. Baik karena beban vertikal maupun beban horizontal (termasuk beban karena sliding, beban pengereman, maupun pergerakan tanah di bawahnya). Dalam hal ini salah satu requirement-nya adalah memenuhi nilai CBR tertentu untuk konstruksi subgrade, sub-base course, dan base-course-nya. Serta memenuhi ketentuan-ketentuan compressive strength dan/atau tensile strength dan/atau flexural strength (modulus of rupture/bend strength/fracture strength) untuk surface course-nya, dalam hal ini khususnya bagi bahan atau material konstruksinya. Baik untuk flexible pavement (aspal) maupun rigid pavement (beton). Itupun masih ditambah technical requirements lain yang hanya dapat dipahami oleh forum yang dihadiri oleh stakeholders khusus dunia konstruksi saja, karena terlalu teknis untuk disampaikan di ruang publik yang sangat heterogen ini. Saya kira tidak cukup bijak untuk menambahkan requirements lain, seperti persyaratan-persyaratan LA Test, liquid limit, bleeding, segregasi, dan sebagainya di ruang publik ini.
Di samping itu juga
karena itu tidak cukup sebagai persyaratan jika kita melakukan treatment dengan
pendekatan inovatif yang saya sebut dengan “pendekatan kimia-geologiâ€
(chemical-geological approach), atau lebih tepatnya saya sering menyebutnya
sebagai “pendekatan geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologiâ€
(geochemical-mineralogical-chrystalographical-petrological-approach).
Dari pengamatan dan studi saya, sekuat apapun suatu konstruksi, sangat sulit untuk menerima serangan kimia. Baja meskipun dikenal sebagai material yang sangat kuat, sering kesulitan untuk menghindar dari bahaya korosi, yang sering mengancam durabilitasnya. Maka kemudian dikenal ilmu metalurgi, yang dapat memberikan solusi bagaimana baja dapat kuat, tahan karat, atau memiliki daktilitas tertentu, atau tahan gores, dan sebagainya.. Maka kemudian dikenal proporsi mix-design dalam alloy-nya.
Dari pengamatan dan studi saya, sekuat apapun suatu konstruksi, sangat sulit untuk menerima serangan kimia. Baja meskipun dikenal sebagai material yang sangat kuat, sering kesulitan untuk menghindar dari bahaya korosi, yang sering mengancam durabilitasnya. Maka kemudian dikenal ilmu metalurgi, yang dapat memberikan solusi bagaimana baja dapat kuat, tahan karat, atau memiliki daktilitas tertentu, atau tahan gores, dan sebagainya.. Maka kemudian dikenal proporsi mix-design dalam alloy-nya.
Di sini diperlukan
pengetahuan tentang perilaku ferrum, carbon, chrom, phosphor, mangan, dan
lain-lain, untuk memberikan kinerja yang baik bagi baja.
Dalam konstruksi jalan, dikenal struktur berlapis, mulai dari subgrade, sub-base course, base-course dan surface course. Dalam pemahamannya kemudian, apakah seluruh lapis dalam struktur atau konstruksi jalan tersebut mampu memiliki durabilitas yang tinggi khususnya terhadap serangan kimia dan cuaca atau iklim? Itulah similarisasinya. Apakah cukup dengan kekuatan struktur yang ditinjau dari aspek-aspek fisikal-mekanikal semata seperti diuraikan di atas? Saya kira faktanya selama ini, hal itu saja tidak cukup. Kekuatan suatu struktur jalan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan yang asam dengan dominasi sulfat dan chlorida tentu saja harus lebih diwaspadai. Begitu juga untuk lingkungan dengan basa kuat. Dengan kata lain untuk daerah dengan dominasi asam kuat, jangan digunakan material dengan ciri basa kuat. Jika sulit mencari material dengan ciri tersebut sebaiknya paling tidak menggunakan batuan yang bersifat netral. Material
batuan sangat dominan dipergunakan dalam subgrade, sub-base course, base-course dan surface-course. Oleh karena itu pengetahuan geokimia, mineralogi, kristalografi dan petrologi tentang batuan harus benar-benar dipahami dalam dunia konstruksi. Selama ini stakeholders dunia konstruksi hanya memberikan kriteria, batuan yang wajib dipakai sebagai bahan baku untuk aggregates pokoknya harus keras, atau memenuhi LA Test dengan angka tertentu. Padahal kekuatan batuan tidak cukup untuk membuat struktur jalan menjadi awet, meski kuat di awal masa konstruksi. Jika lingkungan geokimia-nya tidak mendukung seperti lingkungan dengan wilayah penuh hujan asam, lingkungan marine atau coastal yang penuh sulfat dan chlorida, atau lingkungan yang kuat secara basa, wajib dihadapi dengan pendekatan geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi. Sebagai contoh, batuan basalt yang memiliki PH tinggi (bersifat basa) jangan digunakan di lingkungan laut yang biasanya banyak mengandung sulfat dan chlorida. Sebaliknya batuan asam seperti granit sebaiknya jangan digunakan di daerah yang lingkungannya basa kuat karena akan mengancam kekuatannya.
Dalam konstruksi jalan, dikenal struktur berlapis, mulai dari subgrade, sub-base course, base-course dan surface course. Dalam pemahamannya kemudian, apakah seluruh lapis dalam struktur atau konstruksi jalan tersebut mampu memiliki durabilitas yang tinggi khususnya terhadap serangan kimia dan cuaca atau iklim? Itulah similarisasinya. Apakah cukup dengan kekuatan struktur yang ditinjau dari aspek-aspek fisikal-mekanikal semata seperti diuraikan di atas? Saya kira faktanya selama ini, hal itu saja tidak cukup. Kekuatan suatu struktur jalan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan yang asam dengan dominasi sulfat dan chlorida tentu saja harus lebih diwaspadai. Begitu juga untuk lingkungan dengan basa kuat. Dengan kata lain untuk daerah dengan dominasi asam kuat, jangan digunakan material dengan ciri basa kuat. Jika sulit mencari material dengan ciri tersebut sebaiknya paling tidak menggunakan batuan yang bersifat netral. Material
batuan sangat dominan dipergunakan dalam subgrade, sub-base course, base-course dan surface-course. Oleh karena itu pengetahuan geokimia, mineralogi, kristalografi dan petrologi tentang batuan harus benar-benar dipahami dalam dunia konstruksi. Selama ini stakeholders dunia konstruksi hanya memberikan kriteria, batuan yang wajib dipakai sebagai bahan baku untuk aggregates pokoknya harus keras, atau memenuhi LA Test dengan angka tertentu. Padahal kekuatan batuan tidak cukup untuk membuat struktur jalan menjadi awet, meski kuat di awal masa konstruksi. Jika lingkungan geokimia-nya tidak mendukung seperti lingkungan dengan wilayah penuh hujan asam, lingkungan marine atau coastal yang penuh sulfat dan chlorida, atau lingkungan yang kuat secara basa, wajib dihadapi dengan pendekatan geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi. Sebagai contoh, batuan basalt yang memiliki PH tinggi (bersifat basa) jangan digunakan di lingkungan laut yang biasanya banyak mengandung sulfat dan chlorida. Sebaliknya batuan asam seperti granit sebaiknya jangan digunakan di daerah yang lingkungannya basa kuat karena akan mengancam kekuatannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikian, semoga telaah rintisan ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh pihak manapun secara ilmiah, aplikatif sekaligus inovatif, dengan harapan dapat mengurai benang kusut masalah kerusakan jalan yang secara akut menghantui infrastruktur utama di Indonesia ini. Semoga dapat memberikan kontribusi yang solutif dalam akut-nya masalah kerusakan jalan di Indonesia.
B. Saran
Untuk penyempurnaan pembuatan makalah kedepannya, saya mengharapkan adanya saran dari semua pihak baik dosen maupun seluruh mahasiswa yang membaca makalah peran masyarakat dalam rekonstruksi lingkungan hidup ini terhadap kekurangan yang terdapat pada makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.google.com/
http://www.alumniits.com/index.php/87-buku-putih/699-solusi-inovatif-untuk-menangkal-kerusakan-konstruksi-jalan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar